HOME BASED LEARNING DIMASA PANDEMI

HOME BASED LEARNING DIMASA PANDEMI

Oleh: Fardian Imam Muttaqin
Guru Matematika dan Kepala SMK Muhammadiyah 1 Moyudan

Kita tidak pernah mengira, sebuah tatanan kehidupan dapat berubah dengan cepat yang disebabkan oleh wabah virus, pengalaman saya melihat keadaan seperti itu terjadi dalam film-film barat. Tetapi ini terjadi di dunia nyata saat ini, termasuk Indonesia, pandemi menerjang setiap wilayah yang ada, kegagapan, kebingungan, terjadi disemua sektor tak terkecuali dunia pendidikan

Hanya sistem yang fleksibel dan mampu dengan cepat recovery bahkan harus berubah ke tatanan new normal lah yang mampu bangkit kembali. Keterampilan itu adalah kemampuan beradaptasi. Begitu juga dengan dunia pendidikan, segala cara pendekatan dicoba untuk bisa beradaptasi dengan keadaan. Kebiasaan pengajaran yang sudah membudaya dan menjadi sistem menjadi kendala utama untuk mampu beradaptasi dengan kondisi.

Pemerintah membuat kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) untuk menjaga agar roda pendidikan tetap berputar dengan segala keterbatasannya. Segala perangkat pendukung dipersiapkan dari kebijakan, panduan, tools, bahkan point-point konten materi juga disinggung. Berjalannya waktu ditengah usaha mencari format terbaik, seiring dengan usaha pemerintah dalam menanggulangi pandemi di negeri ini. Kebijakan berubah-ubah dengan cepat, mengikuti kondisi dilapangan. Insan pendidikan pun menunggu dengan usaha-usaha pelayanan pengajaran agar tetap berjalan.

Karena sudah mengakarnya teknik-teknik pembelajaran selama ini, meskipun kebijakannya adalah PJJ tetapi teknik yang diberikan masih sebagian besar hanya memindahkan metode mengajar saat luring ke ruang daring. Tidak ada langkah baru untuk beradaptasi terhadap kondisi, hanya bajunya saja yang berganti. Persiapan Learning Management System (LMS), menambah keterampilan teknologi informasi, dan belajar hal-hal lain untuk mendukung terlaksanya PJJ. Padahal hal tersebut sudah lama untuk bisa diterapkan sebelum pandemi, dengan sistem blended learning, sebagai imbas dari kemudahan teknologi. Namun baru mau berubah dan belajar saat kondisi sudah memaksa melalui PJJ yang disebabkan oleh wabah virus ini.

Mengapa saya katakan hanya memindah metode luring kedalam ruang daring, hanya berganti baju saja. Karena yang terjadi dilapangan, paradigma pengajaran masih belum berubah signifikan. Terbukti, muncul berbagai persoalan baru yang ditunjukkan oleh peserta didik melalui kesehatan mentalnya. Hasil riset yang dilakukan oleh tim Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menemukan hal baru tentang emosi yang dirasakan oleh peserta didik selama PJJ. Ini merupakan isu penting yang harus diketahui oleh semua orang, namun ternyata, masih belum ada pihak pelaku pendidikan yang mengungkap issue emosi siswa selama PJJ ini.

Emosi negatif yang muncul dari hasil riset mendominasi seakan membuka mata kita, bahwa selama setahun berlalupun anak-anak kita belum mendapatkan hal baru sebagai pengetahuan dalam dirinya. Rasa bosan, stress, bingung, tidak semangat, sedih, kurang memahami materi, kesulitan belajar, dan merasa terbebani dengan tumpukan tugas yang diberikan oleh setiap guru. Bahkan melalui wawancara langsung dengan peserta didik, saya menemukan jawaban bahwa metode guru-guru dalam mengajar dimasa pandemi ini kebanyakan hanya memberikan materi, dilampirkan dalam LMS, disuruh membaca dan memahami, jika ada kesulitan bisa ditanyakan, kemudian diakhiri silahkan mengerjakan soal-soalnya. Aktifitas ini adalah paradigma lama yang mengakar saat luring dan hanya dipindah kedalam ruang daring. Anak-anak merasa sulit memahami materi, dan mengeluh, guru hanya memberikan aktifitas seperti itu, bahkan untuk berkomunikasi dua arah secara langsungpun jarang dilakukan, atau bahkan tidak dilakukan sama sekali.

Kondisi ini seakan menikmati dan pasrah akan keadaan yang serba sulit. Kemampuan adaptasi dan memberikan hal baru, pengalaman baru kepada peserta didik bukan menjadi hal utama yang dipikirkan oleh pelaku pendidikan. Dampaknya yang paling menderita adalah anak-anak kita. Saat luring mereka diajar dengan paradigma lama, yang itu pun masih berbasis konten-konten kurikulum secara kaku, yang tidak berfokus pada kemampuan aktifitas thinking dan reasoning, saat daringpun masih terjadi pola lama itu. Hal ini mengkonfirmasi bahwa permasalahan emosi negatif yang dirasakan peserta didik sebenarnya sudah terjadi sejak lama, sejak sebelum masa pandemi, yang diakibatkan oleh ekosistem dan pola belajar yang penuh tekanan, bukan berpusat pada peserta didik, memerdekakan dan memanusiakan.

Pandemi dan pembelajaran jarak jauh ini mampu menyingkap tabir itu, membuat kita menyadari bahwa masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan yang muncul sekarang sudah ada sejak lama. Desakan untuk segera pembelajaran tatap muka terus bergulir seiring makin banyaknya keluhan tentang PJJ. Menjadi pertanyaan saya, apakah akan seketika selesai permasalahan yang ada ketika pembelajaran tatap muka dibuka? Karena saya menemukan kejadian unik, saat PJJ anak-anak mengeluh minta segera tatap muka, kemudian ada guru yang memberi kesempatan tatap muka terbatas dengan balutan konsultasi, ternyata yang diberi kesempatan itupun juga tak semua muncul dan datang kesekolah. Hal ini menunjukkan permasalah demotivasi belajar siswa sudah sedemikian mengkhawatirkan.

Konfirmasi menguatkan akan permasalahan mendasar dalam pendidikan, muncul jawaban-jawaban dari anak-anak saat dilakukan survei, bahwa hal-hal yang disukai tentang sekolahnya diantaranya adalah interaksi dengan teman, aktifitas yang seru, dan lainnya. Itulah yang menjadi alasan peserta didik sangat rindu bersekolah, yaitu berjumpa dan bermain dengan teman-temannya. Sedangkan pada masa PJJ, anak-anak kita kehilangan sebuah momen yang membuat sekolah merasa sedikit menyenangkan. Apakah hal ini menunjukkan bahwa sebelum pandemi kebanyakan pembelajaran yang berjalan tidak menyenangkan? Jika iya, maka sebenarnya terdapat permasalahan mendasar dalam pendidikan kita. Apakah kita hanya menunggu arah kebijakan? atau bahkan hanya mampu mencibir dan mengkritik saja tanpa mampu melakukan perubahan hal-hal kecil yang mendasar tersebut?

Saat ini, GSM mengenalkan Home Based Learning (HBL), dimana proses pembelajaran yang dilakukan dari rumah dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada dirumah dan lingkungannya sebagai bahan dan media belajar peserta didik. Memang tidak semua kompetensi yang harus dikuasai peserta didik di sekolah dapat tercukupi dengan kondisi rumah, ada beberapa mata pelajaran yang bahkan sangat sulit untuk memberikan pengalaman belajar bermakna, dikarenakan tidak ada tool dan media untuk anak-anak mempelajarinya. Tetapi ada pula kompetensi-kompetensi yang mampu adaptasi dengan kondisi daya dukung di rumah dan lingkungannya.

Saya teringat dalam kegiatan mengikuti oboralan sore antara pegiat GSM dengan pelaku pendidikan di Finlandia yang menyampaikan tentang aktifitas belajar anak-anak dilingkungannya sebagai sebuah bagian dari kurikulum. Peserta didik di Finlandia diajarkan materi-materi bahkan praktik dengan konten yang ada disekitar rumahnya.

Sebagai contoh disekitar rumahnya atau sekolahnya terdapat banyak sekali pohon bambu, maka sekolah tersebut menjadikan pohon bambu tersebut sebagai materi untuk dipelajari baik karakternya maupun pemanfaatanya, sehingga anak-anak dapat mengeksplorasi sumber daya yang ada disekitarnya untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Mereka tidak akan menjadi asing apa itu pohon bambu, macamnya seperti apa, untuk apa saja bisa dimanfaatkan. Hal ini adalah contoh kecil yang membuka mata kita, bahwa disekitar anak-anak adalah sumber daya belajar yang luar biasa. Jika tidak dijadikan sebuah kurikulum, maka pelaku pendidikan mampu menghubungkan materi yang ada di kurikulum yang biasa diberikan di sekolah, untuk dihubungkan dengan kondisi rumahnya.

Inilah konsep Home Based Learning sebuah inovasi pembelajaran untuk mengembalikan fitrah pendidikan di rumah. Pembelajaran, interaksi kelas, dan materi pelajaran dapat diakses dari rumah dengan menggunakan media dan bahan belajar yang ada disekitar rumah dan lingkungannya.

Keuntungan HBL

Materi dan kurikulum dapat disesuaikan dengan semangat adaptasi, bahkan mampu untuk dimodifikasi dengan memberikan pengalaman belajar berupa hal-hal yang relevan dengan kehidupan sehari-harinya. Hal ini menguatkan bahwa kesempatan belajar itu tetap didapatkan oleh peserta didik meski gangguan ketiadaan ruang kelas yang tidak terduga. HBL juga menjadikan kesempatan orang tua untuk dapat memantau kinerja anaknya dalam aktifitas belajar. Anak-anak dapat melakukan aktifitas belajar dengan kecepatan mereka sendiri dalam waktu yang paling nyaman untuk mereka. Fleksibilitas belajar adalah hasil dari kondisi pelaksanaan HBL ini.

Tips mengatasi kebutuhan belajar saat HBL

Sebagai pendidik hal pertama yang harus kita lakukan adalah tujuan yang nyata dari aktifitas belajar yang akan dilakukan. Keterlibatan peserta didik dan orang tua adalah sebuah keniscayaan. Pembelajaran tidak hanya dilakukan searah saja, komunikasi efektif dua arah harus dilakukan. Salah satu kunci keberhasilan adalah instruksi yang jelas, apabila instruksi yang tidak jelas dan tidak adanya komunikasi yang baik, maka hasilnya anak-anak malas melakukan aktifitas belajarnya, dan munculah permasalahan-permasalahan yang dikeluhkan. Buatlah jeda-jeda pembelajaran dengan memberikan aktifitas belajar diluar konten materi yang ada dimata pelajaran kita. Aktifitas belajar lain itu dimaksudkan untuk merefresh dan sarana bermain anak-anak agar tidak jenuh dengan materi pelajaran. Last not but least, latihlah rasa syukur kepada Allah dan berdo’a untuk pengalaman belajar yang bermanfaat melalui pengabdian setiap harinya.